Kisruh PBB-P2 di Pati bermula dari rencana penyesuaian tarif yang disebut mencapai hingga 250%. Argumen pemerintah daerah sederhana: tarif lama dianggap tidak lagi relevan, butuh pembaruan untuk mengejar kebutuhan layanan publik dan infrastruktur. Persoalannya, skala lonjakan dikira tidak realistis bagi warga, terutama yang rentan secara ekonomi. Di tingkat rumah tangga, kenaikan pajak properti berarti biaya hidup baru—ditambah harga kebutuhan lain yang terus bergerak.
Di titik ini, substansi kebijakan bertabrakan dengan daya tahan dompet warga. Transparansi formulasi, simulasi dampak, dan tahapan penerapan minim terasa. Tanpa jembatan komunikasi yang memadai, penjelasan teknokratis berubah menjadi sentimen “pemerintah jauh dari realitas rakyat”.
Menjelang Aksi: Pernyataan yang Memantik
Menjelang tanggal aksi, pernyataan keras dari pucuk pimpinan daerah—yang terpotong dalam cuplikan video dan beredar cepat—membuat publik makin panas. Yang tadinya keluhan pajak, berubah menjadi soal cara memimpin: apakah pemimpin mau mendengar atau sekadar mengetuk palu. Dalam logika politik lokal, publik yang merasa diremehkan cenderung bersatu. Ajakan turun ke jalan pun mudah menemukan gema.
Hari-H: Lautan Massa, Spanduk, dan Satu Tuntutan
Puncak protes pecah di depan kantor bupati. Sejak pagi, arus massa mengental: pedagang pasar, petani, buruh, mahasiswa, sampai komunitas keagamaan. Spanduk inti senada—cabut kenaikan PBB-P2—disertai seruan tambahan: evaluasi kebijakan publik, buka data, dan jika perlu, pemimpin mundur.
Sebagian warga mendorong jalur prosedural: dewan membentuk panitia khusus, audit kebijakan pajak, dan menyusun ulang regulasi lewat uji dengar pendapat. Yang lain meminta pemulihan cepat: batalkan dulu, rapikan kemudian. Ketika tekanan sosial memuncak, tensi di lapangan naik-turun—banyak segmen tetap damai, namun ada pula insiden yang membuat situasi memanas.
Dinamika Lapangan: Damai, Lalu Tegang
Mayoritas peserta menjaga aksi tetap tertib—koordinator lapangan mengingatkan agar demonstrasi fokus pada tuntutan. Meski demikian, arus massa besar selalu mengandung risiko. Dorong-dorongan di beberapa titik terjadi; petugas medis melaporkan puluhan orang perlu perawatan ringan. Lini distribusi air minum, makanan, hingga jalur evakuasi sempat disiapkan sukarelawan untuk memastikan kerumunan tetap aman.
Di sisi pengamanan, aparat membentuk barikade berlapis, mencoba menjaga jarak aman antara massa dan pagar kantor pemerintahan. Prinsipnya sederhana: cegah eskalasi, tetapi beri ruang bagi kebebasan berekspresi. Koordinasi antara korlap dan aparat menjadi faktor krusial agar suasana tidak jatuh ke spiral kekerasan.
Titik Balik: Kebijakan Dibatalkan, Protes Belum Selesai
Di tengah tekanan publik yang masif, pemerintah daerah akhirnya mencabut rencana kenaikan PBB-P2 dan menyampaikan permintaan maaf. Secara kebijakan, ini kemenangan warga: skema yang dinilai membebani dihentikan sebelum menimbulkan luka finansial lebih dalam. Namun, demonstrasi belum otomatis bubar. Sentimennya keburu melebar ke ranah akuntabilitas—cara memimpin, pola komunikasi, dan kualitas pengambilan keputusan.
Inilah mengapa setelah pembatalan, tuntutan sebagian massa beralih ke desakan mundur. Menurut mereka, perkara pajak hanyalah puncak gunung es: ada daftar kebijakan lain yang kontroversial dan dirasa tidak peka. Di tahap ini, protes bergerak dari isu teknis menuju isu kepercayaan.
Peran DPRD: Dari Pengawasan ke Perbaikan Regulasi
Di level kelembagaan, bola berikutnya bergulir ke DPRD. Opsi yang realistis:
-
Menggelar rapat dengar pendapat terbuka dengan kelompok warga, asosiasi profesi, dan akademisi.
-
Melakukan audit kebijakan yang mengurai asumsi, data, dan dampak—termasuk memetakan siapa paling terdampak.
-
Menyusun ulang regulasi dengan skenario bertahap: plafon kenaikan per tahun, pembebasan untuk rumah tangga miskin, serta mekanisme keberatan yang cepat dan murah.
Dengan cara ini, fungsi representasi berjalan: kebijakan fiskal daerah tetap punya gigi, tetapi tidak menggigit warga paling rentan.
Dimensi Fiskal yang Lebih Luas: Penerimaan vs Keadilan
Setiap pemerintah daerah butuh pendapatan asli daerah. Persoalan klasiknya adalah menyeimbangkan tiga hal: kebutuhan anggaran, keadilan vertikal (yang mampu bayar lebih banyak), dan keadilan horizontal (beban antar-warga proporsional). Kenaikan tajam—betapapun argumentasinya—berisiko dianggap memindahkan beban fiskal secara mendadak ke rumah tangga. Jalan tengahnya: kurva kenaikan bertahap, basis data terbarukan, dan targeting yang presisi.
Kunci lainnya adalah komunikasi: bukan sekadar publikasi “kenaikan sekian persen”, tetapi paket lengkap—simulasi tagihan sebelum-sesudah, alat hitung daring, masa transisi, kanal keberatan, serta kompensasi untuk kelompok prioritas. Ketika warga paham mengapa harus membayar lebih dan ke mana uangnya mengalir, resistensi menurun secara alami.
Komunikasi Krisis: Pelajaran Mahal
Kasus Pati menyodorkan satu pelajaran mahal: kalimat pemimpin bisa menjadi bensin atau air. Satu pernyataan yang terasa menantang publik, ditambah minimnya empati, cukup untuk mengubah koreksi tarif menjadi krisis legitimasi. Di era gawai, potongan video beberapa detik bisa mengalahkan naskah kebijakan seratus halaman.
Best practice-nya jelas: sebelum pengumuman, kumpulkan data dampak; sebelum menaikkan, jelaskan manfaat; ketika dikritik, tanggapi dengan angka dan empati; bila salah, koreksi secepatnya dan ajak warga terlibat menyusun ulang. Itu bukan sekadar manajemen reputasi—itu manajemen pemerintahan.
Apa Berikutnya: Jalan Panjang Pemulihan Kepercayaan
Jangka pendek, pemerintah perlu memulihkan ritme layanan publik yang sempat terganggu. Jangka menengah, DPRD bersama eksekutif menyusun rancangan kebijakan pajak baru yang lebih rasional—bertahap, berbasis data, dan sensitif terhadap daya beli. Termasuk, mengaktifkan kanal pengaduan dan keberatan yang responsif, serta memastikan aparat kelurahan/desa siap menjelaskan formula di tingkat paling bawah.
Jangka panjang, ini soal kepercayaan. Masyarakat ingin bukti bahwa suara mereka tidak diabaikan dan bahwa keputusan besar akan selalu ditambatkan pada dialog. Bila agenda-agenda perbaikan ini nyata berjalan—transparansi data, uji publik, mitigasi dampak—maka suhu politik lokal cenderung turun. Jika tidak, bara bisa menyala lagi pada isu lain.
Garis Akhir: Kemenangan Warga, Pekerjaan Rumah Pemerintah
Pembatalan kenaikan PBB-P2 menandai kemenangan warga dalam memperjuangkan beban hidup yang wajar. Namun, ia sekaligus membunyikan alarm: tata kelola fiskal tak bisa dipisah dari seni berkomunikasi dan kepekaan sosial. Pemerintahan yang efektif bukan hanya soal keberanian mengambil keputusan, tetapi juga kebijaksanaan mendengarkan.
Pati memberi pelajaran nasional: koreksi kebijakan itu perlu, tetapi temponya harus manusiawi. Saat warga diajak menghitung bersama, bukan dipaksa ikut angka, maka pajak tak lagi dilihat sebagai beban semata—melainkan sebagai kontrak sosial yang adil.