ASEAN dalam Tekanan Geopolitik
Asia Tenggara adalah kawasan yang secara historis dikenal stabil, meskipun diwarnai oleh perbedaan ideologi, tingkat ekonomi, dan sistem politik yang beragam. ASEAN, sebagai organisasi regional, dibentuk pada 1967 dengan tujuan menjaga stabilitas, memperkuat kerja sama ekonomi, dan mendorong solidaritas antarnegara anggota. Namun, tahun 2025, stabilitas ini terguncang oleh apa yang disebut sebagai krisis politik ASEAN 2025.
Krisis ini muncul akibat kombinasi tekanan eksternal dari rivalitas global Amerika Serikat dan Cina, ditambah persoalan internal seperti isu demokrasi, konflik perbatasan, serta kesenjangan ekonomi digital. Situasi ini membuat ASEAN harus membuktikan apakah solidaritas regional yang selama ini diagung-agungkan masih relevan di tengah dunia yang semakin terpolarisasi.
Banyak analis menilai, jika ASEAN gagal melewati krisis ini, maka organisasi tersebut akan kehilangan relevansinya dan hanya akan menjadi forum simbolis tanpa daya tawar nyata.
Latar Belakang Krisis Politik ASEAN
Krisis politik ASEAN 2025 tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada akar masalah panjang yang memicunya.
Pertama, konflik Laut Cina Selatan semakin memanas. Cina memperluas aktivitas militernya di wilayah yang juga diklaim Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia. Filipina di bawah pemerintahan baru mengambil sikap lebih keras terhadap Beijing, sementara Vietnam meningkatkan patroli militernya. Kedua negara ini mendesak ASEAN agar bersatu menekan Cina, namun anggota lain seperti Laos dan Kamboja menolak karena ketergantungan ekonomi mereka pada Beijing.
Kedua, persaingan Amerika Serikat–Cina kian sengit. AS memperkuat aliansi dengan Filipina dan Australia melalui AUKUS Plus, sementara Cina memperluas pengaruh ekonomi lewat Belt and Road Initiative (BRI). ASEAN terjebak dalam dilema: menjaga netralitas atau berpihak ke salah satu kekuatan besar.
Ketiga, isu demokrasi internal juga menjadi batu sandungan. Myanmar masih dikuasai junta militer, meski ada tekanan internasional untuk mengembalikan pemerintahan sipil. Kondisi ini membuat ASEAN terpecah: sebagian mendorong langkah tegas terhadap junta, sebagian lain memilih pendekatan non-intervensi.
Keempat, transformasi digital menghadirkan kesenjangan baru. Singapura, Indonesia, dan Malaysia melaju pesat dalam ekonomi digital, sementara Laos, Myanmar, dan Kamboja tertinggal jauh. Perbedaan ini memicu ketidakselarasan visi pembangunan regional.
Perbedaan Sikap antar Negara
Salah satu ciri khas ASEAN adalah keputusan diambil berdasarkan konsensus. Namun, pada krisis kali ini, konsensus sulit tercapai.
-
Filipina & Vietnam: menuntut ASEAN bersikap lebih keras terhadap Cina, bahkan mendorong opsi sanksi diplomatik.
-
Indonesia & Malaysia: mencoba menjadi penengah dengan menawarkan forum dialog dan kode etik baru di Laut Cina Selatan.
-
Laos & Kamboja: lebih condong mendukung Cina, karena investasi BRI sangat penting bagi pembangunan infrastruktur mereka.
-
Singapura: berfokus pada stabilitas kawasan untuk mendukung investasi dan ekonomi digital.
-
Thailand: cenderung pragmatis, menjaga hubungan baik dengan semua pihak.
Perbedaan sikap ini memperlihatkan rapuhnya solidaritas ASEAN di saat menghadapi tekanan besar.
Peran Indonesia sebagai Ketua ASEAN
Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga stabilitas kawasan. Tahun 2025, Indonesia mengambil peran proaktif dengan beberapa langkah strategis:
-
Diplomasi Shuttle: Menteri Luar Negeri Indonesia melakukan tur ke negara anggota untuk menyamakan persepsi terkait Laut Cina Selatan.
-
Kode Etik Baru: Indonesia mengusulkan pembaruan Code of Conduct agar semua pihak, termasuk Cina, berkomitmen menjaga kebebasan navigasi.
-
Isu Myanmar: Indonesia menekan junta militer untuk membuka dialog nasional. Meski hasilnya belum signifikan, langkah ini diapresiasi komunitas internasional.
-
Transformasi Digital ASEAN: Indonesia mendorong agenda kesetaraan digital, agar negara-negara tertinggal tidak semakin ketinggalan.
Meski begitu, peran Indonesia juga terbatas. Kepentingan ekonomi dan politik masing-masing negara membuat langkah kolektif sulit dilakukan.
Reaksi Global
Krisis politik ASEAN mendapat sorotan dunia internasional.
-
Amerika Serikat: mendesak ASEAN lebih tegas menghadapi Cina, terutama di Laut Cina Selatan. Washington bahkan menawarkan peningkatan kerja sama militer dengan negara anggota ASEAN yang siap melawan pengaruh Beijing.
-
Cina: menilai ASEAN harus tetap netral. Beijing memperingatkan bahwa keterlibatan terlalu jauh dengan AS akan merusak stabilitas kawasan.
-
Uni Eropa: mengambil sikap mendukung ASEAN melalui bantuan pembangunan hijau dan transformasi digital. Eropa ingin menjaga hubungan baik tanpa terlihat memihak.
-
Jepang & Korea Selatan: ikut memperkuat kerja sama ekonomi dengan ASEAN, sekaligus meningkatkan dialog keamanan.
ASEAN berada dalam posisi sulit: jika terlalu dekat dengan AS, mereka akan dimusuhi Cina. Jika terlalu dekat dengan Cina, mereka akan dituduh tunduk pada hegemoni.
Dampak pada Ekonomi Kawasan
Krisis politik ASEAN juga berdampak langsung pada perekonomian kawasan.
-
Investasi Asing Menurun: ketidakpastian politik membuat investor global lebih hati-hati.
-
Gangguan Rantai Pasok: konflik Laut Cina Selatan mengganggu jalur perdagangan maritim vital.
-
Pariwisata Terguncang: ketegangan membuat beberapa negara kehilangan wisatawan internasional.
-
Ekonomi Digital Tertunda: agenda integrasi pasar digital ASEAN melambat akibat perbedaan regulasi.
Namun, peluang tetap ada. ASEAN masih dianggap sebagai kawasan dengan pertumbuhan tercepat, sehingga investor tetap menaruh minat jangka panjang.
Suara Publik dan Aktivis
Masyarakat sipil juga ikut bersuara.
-
Aktivis HAM menuntut ASEAN lebih tegas terhadap junta Myanmar.
-
Pelaku bisnis khawatir dengan dampak jangka panjang ketidakpastian politik.
-
Generasi muda mendorong ASEAN lebih fokus pada isu perubahan iklim, pendidikan, dan akses teknologi.
Di media sosial, tagar #ASEANCrisis2025 sempat viral di beberapa negara anggota, menunjukkan meningkatnya kesadaran publik terhadap isu regional.
Tantangan dan Peluang ke Depan
Krisis politik ini bisa menjadi ancaman, tetapi juga peluang.
-
Ancaman: jika gagal menemukan konsensus, ASEAN bisa dianggap tidak relevan. Negara anggota mungkin akan lebih memilih aliansi bilateral dengan kekuatan besar.
-
Peluang: jika berhasil melewati krisis, ASEAN bisa muncul sebagai kekuatan regional yang disegani dunia.
Keberhasilan atau kegagalan ini sangat bergantung pada kepemimpinan negara besar seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Masa Depan ASEAN
Ada tiga skenario masa depan ASEAN pasca-krisis 2025:
-
ASEAN Bersatu
Negara anggota berhasil menemukan konsensus, memperkuat solidaritas, dan menjaga netralitas strategis. -
ASEAN Terpecah
Perbedaan sikap makin dalam, solidaritas hancur, dan organisasi hanya menjadi forum simbolis. -
ASEAN Bertransformasi
Krisis memaksa ASEAN mereformasi mekanisme pengambilan keputusan, tidak lagi berdasarkan konsensus mutlak, tetapi qualified majority.
Reformasi inilah yang banyak didorong kalangan akademisi dan aktivis, meski belum tentu disetujui semua pihak.
Kesimpulan dan Penutup
Ringkasan
Krisis politik ASEAN 2025 adalah ujian terbesar solidaritas Asia Tenggara dalam beberapa dekade terakhir. Perbedaan sikap antarnegara, tekanan geopolitik global, dan isu internal membuat konsensus sulit tercapai. Namun, krisis ini juga membuka peluang bagi ASEAN untuk bertransformasi menjadi organisasi regional yang lebih kuat.
Langkah Selanjutnya
ASEAN harus memperkuat diplomasi kolektif, menyelaraskan visi ekonomi digital, dan memastikan bahwa isu HAM serta demokrasi tidak diabaikan. Jika berhasil, ASEAN akan tetap relevan dan disegani di panggung global. Jika gagal, organisasi ini terancam kehilangan makna.