“Merah Putih: One For All” bukan proyek dadakan. Sutradara sekaligus eksekutif produser, Endiarto, mengembangkan konsep ini sebagai kontribusi untuk perayaan HUT ke‑80 RI. Bersama PERFIKI Kreasindo dan Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, ia memulai ide sejak tahun sebelumnya dan menyelesaikan post-produksi film animasi merah putih pada Juni 2025—cukup waktu untuk finishing, color grading, dan sound design; bukan dari nol.
Durasi pengerjaan yang singkat—dilaporkan kurang dari satu bulan—menimbulkan spekulasi bahwa tim produksi dikejar deadline sehingga mengorbankan kualitas animasi.
Plot & Tema: Menyatukan Beragam Budaya untuk Kepentingan Bersama
Film ini mengisahkan delapan anak dari berbagai suku dan budaya di Indonesia yang membentuk “Tim Merah Putih” untuk menjaga bendera pusaka menjelang upacara 17 Agustus. Namun, bendera itu hilang, memicu petualangan lintas perbedaan dalam misi menyelamatkannya.
Tema besar seperti nasionalisme dan keberagaman disuguhkan dalam balutan cerita anak-anak, sayangnya tidak disertai kekuatan visual yang setara.
Biaya Fantastis dan Sorotan Publik: Di Mana Duitnya?
Budget produksi diklaim mencapai Rp 6,7 miliar—angka fantastis untuk film animasi lokal. Tapi publik bertanya-tanya: asalnya dari mana?
Endiarto menegaskan bahwa semua biaya berasal dari gotong royong internal, tanpa suntikan dana dari pemerintah. “Tidak ada uang yang turun,” katanya.
Kritik Tajam dari Netizen: Aset Murah, Visual Kaku
Trailer memperlihatkan animasi yang dianggap murahan, dengan aset yang diduga diambil langsung dari Daz3D—seperti “Street of Mumbai”—tanpa sentuhan lokal. Karakter dan set juga disebut hanya seharga belasan dolar AS, menciptakan kesan ambil jalan pintas.
Netizen membandingkannya dengan film “Jumbo” yang punya visual jauh lebih superior—”langit dan bumi”, begitu mereka bilang.
Respons dari Produser & Pecahkan Isu Anggaran
Produser Toto Soegriwo memilih merespons kritik dengan santai bahkan sinis:
“Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Postingannya jadi viral kan?”
Video berjudul “Bukan Rp 6,7 M, Sutradara Jawab soal Biaya” juga bermunculan—menegaskan proses ini berbasis gotong royong—tanpa klarifikasi rinci soal alokasi biaya.
Kritikus Industri: Hanung Bramantyo Bersuara
Sutradara terkenal Hanung Bramantyo angkat bicara membela kreator film ini. Menurutnya, masalah bukan pada kreator, tapi tekanan deadline yang dibuat oleh pemberi proyek agar tayang tepat di momen 17 Agustus—mengorbankan kualitas.
Dia menambahkan:
“7 miliar untuk film animasi—kalau dipotong pajak malah sekitar 6 miliar. Tapi tetap saja terlalu kecil untuk hasil yang memukau.”
“Film animasi berkualitas minimal butuh Rp 30 miliar plus promosi dan waktu produksi lima tahun.”